Mengatasi Banjir, Ini Perbedaan Normalisasi dan Naturalisasi Sungai di Wilayah Jakarta



Banjir kembali melanda Jakarta 1 Januari 2020 lalu, beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya mengalami kanaikan air yang sangat signifikan dibanding sebelumnya.

Ada satu hal yang cukup menggelitik saya, istilah normalisasi dan naturalisasi menjadi ramai dibicarakan. Awalnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono lah yang menyebutkan bahwa normalisasi secara menyeluruh untuk Kali Ciliwung, menjadi langkah untuk mencegah banjir di ibu kota.

Istilah pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, termasuk pada era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, untuk tujuan yang sama adalah normalisasi sungai.

Wakil Anies, yaitu Sandiaga Uno, juga masih menggunakan istilah normalisasi saat menyampaikan langkah Pemprov DKI dalam mengatasi banjir akibat makin sempitnya daerah aliran sungai, entah karena diokupasi warga atau pendangkalan alami.

Sedangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih memilih untuk melakukan naturalisasi dan tak melanjutkan program normalisasi yang dijalankan sejak era kepemimpinan Joko Widodo ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Apa sebetulnya perbedaan antara normalisasi dan naturalisasi sungai? Tujuannya sih tetap sama, mencegah banir khususnya di wilayah ibukota.

NORMALISASI

Dikutip dari situs Jakarta Smart City, normalisasi sungai adalah metode penyediaan alur sungai dengan kapasitas yang mencukupi untuk menyalurkan air, terutama air yang berlebih saat curah hujan yang cukup tinggi.

Normalisasi ini dilakukan karena mengecilnya kapasitas sungai akibat pendangkalan dan penyempitan badan sungai, dinding yang rawan longsor, aliran air yang belum terbangun dengan baik, dan penyalahgunaan daerah aliran sungai untuk permukiman.

Dilansir dari detik.com, Dinas Tata Air DKI melakukan normalisasi sungai dengan cara pengerukan sungai untuk memperlebar dan memperdalam sungai, pemasangan sheet pile atau batu kali (dinding turap) untuk pengerasan dinding sungai, pembangunan sodetan, hingga pembangunan tanggul.

Singkatnya, normalisasi adalah upaya untuk menjadikan sungai mampu menyimpan air dengan kapasitas lebih banyak, dan meningkatkan kemampuan untuk mengalirkan air. Caranya dengan pengerukan, pembetonan, dan pembangunan tanggul.

Dinas Kebersihan DKI mengeksekusi normalisasi dengan cara menjaga kebersihan sungai sehingga sungai dapat difungsikan sebagai air baku. Ada 13 sungai yang melintasi Jakarta yakni Sungai Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Baru Barat, Mookevart, Baru Timur, Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung.

Namun, ternyata apa yang sudah dijalankan Pemprov DKI keliru...Hal ini disampaikan Nirwono Joga pengamat tata kota Universitas Trisakti. Yuk kita lihat penjelasannya di bawah ini.

Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menjelaskan, normalisasi dalam pengertian yang telah direalisasikan oleh Pemprov DKI adalah melakukan pelebaran sungai dengan memindahkan masyarakat sekitar. Pinggiran sungai dilakukan betonisasi.

Nirwono mengatakan, pengertian normalisasi yang telah dijalankan Pemprov DKI merupakan hal keliru. Soalnya, normalisasi dalam arti sebenarnya yaitu mengembalikan bentuk sungai sesuai dengan peruntukan serta bentuk awalnya.

Normalisasi mestinya mengikuti bentuk sungai, bukan menjadikan sebagai sungai yang lurus dan pinggir sungai dibeton seperti saat ini.

"Tujuan awal normalisasi ini mengembalikan bentuk sungai sesuai dengan peruntukan awal, itulah disebut dinormalkan, tetapi dalam praktiknya salah," ujar Nirwono kepada Kompas.com, Kamis (8/2/2018).

"Nah salahnya itu yang sekarang dilakukan Pemprov DKI dan BWSCC itu dalam bentuk sungainya cenderung diluruskan, dirapikan, dan dibetonisasi," kata Nirwono.

Nirwono mengatakan, normalisasi yang telah dilakukan Pemprov DKI sebenarnya akan menimbulkan sejumlah dampak buruk pada masa depan. Normalisasi dengan betonisasi dan meluruskan bentuk sungai akan membuat aliran sungai semakin cepat.

Bentuk sungai yang berkelok-kelok sesungguhnya bisa memperlambat laju aliran sungai. Dengan sungai diluruskan, daya dorong air akan semakin besar sehingga terdampak di sisi hilir.

Tingginya kecepatan aliran air akan membawa lumpur dan sedimentasi yang cukup banyak. Akibatnya, sungai akan cenderung cepat mendangkal. Betonisasi juga akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.

NATURALISASI

Sedangkan naturalisasi adalah upaya mengembalikan fungsi sungai sebagai daerah resapan air, kawasan hijau, dan mengembalikan ekosistem sebagaimana kondisi alamiahnya lagi. Dengan begitu, air akan terserap kembali ke dalam tanah. Berbeda dengan normalisasi yang sering dilakukan dengan pembangunan dinding turap atau pembetonan di pinggir sungai, maka naturalisasi tidak dieksekusi dengan cara demikian.

Alur sungai dibiarkan tanpa turap maupun sodetan agar tidak mematikan ekosistem alamiah di pinggir sungai. Program naturalisasi Anies ini diwujudkan dalam Pergub Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air (SDA) secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.

Kembali Nirwono menjelaskan, pengertian naturalisasi sendiri merupakan penataan bantaran sungai yang lebih ramah lingkungan. Konsep naturalisasi memperlebar sungai dengan mengikuti bentuk alur sungai.

Berbeda dari konsep normalisasi dengan betonisasi, naturalisasi  memanfaatkan ekosistem hijau di mana di pinggiran sungai ditanami pohon. Konsep penataan naturalisasi selain bertujuan menjaga ekosistem yang ada di pinggir sungai tetap hidup, juga menjadikan pinggiran sungai bisa menyerap air.

"Nah dengan kelokan tadi, kecepatan air semakin pelan, jalur hijau dan air diserap. Dia punya kecepatan untuk diserap kembali di kiri dan kanan sungai, jadi secara alami air masuk ke dalam tanah," kata Nirwono.

Yang menjadi pertanyaan buat saya dan mungkin Anda...

Antara Normalisasi dan Naturalisasi, Mana yang lebih Efektif dalam mengatasi banjir di Jakarta?

Di atas sudah dijelaskan tentang perbedaan normalisasi dan naturalisasi. Dari kedua upaya tersebut, mana sebenarnya yang paling efektif?

Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga juga mengatakan normalisasi dan naturalisasi bukan hal yang harus diperdebatkan, tapi harus dipadukan.

Nirwono mengatakan banyak kota di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat yang memadukan pendekatan normalisasi dan naturalisasi dengan serasi dalam penataan sungai.

Nirwono mengatakan normalisasi saat ini erat kaitannya dengan betonisasi, sementara naturalisasi adalah penghijauan sungai dan bantar sungai dengan tanaman. Padahal naturalisasi tetap termasuk dalam normalisasi sungai.

"Sebenarnya normalisasi dan naturalisasi itu bisa dipadukan bukan diperdebatkan apalagi dipertentangkan. Sebenarnya (betonisasi) masih bisa dipadukan dengan penghijauan di bantaran sungai," kata Nirwono kepada CNNIndonesia.com.

"Saat hujan, tanaman di sepanjang sungai akan menghambat kecepatan aliran, muka air naik dan menggenangi bantaran dan tanaman di jalur hijau, yang secara alami memang dibutuhkan untuk ekosistem pendukung kelangsungan keanekaan hayati tepian sungai," ujar Nirwono.

Sebelumnya, Anies memang punya pendekatan berbeda dalam menangani banjir di Jakarta. Pada 2018 menggunakan istilah baru yakni, naturalisasi.

Lewat naturalisasi, Anies mengenalkan konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampung untuk mengendalikan banjir.

Intinya Relokasi Warga dari Pinggiran Sungai

Nirwono Joga berpendapat, mengatakan baik naturalisasi atau normalisasi membutuhkan relokasi warga dari pinggiran sungai. Nirwono lebih memilih menggunakan diksi relokasi karena memiliki arti yang lebih umum terkait pemindahan lokasi.

"Apa pun yang akan dipilih, badan sungai harus dilebarkan dan diperdalam. Permukiman harus direlokasi, kata itu lebih tepat dan bijak ketimbang gusur atau geser," ujar Nirwono.

Nirwono mengatakan normalisasi secara umum sesungguhnya adalah mengembalikan atau mempertahankan bentuk alami sungai yang berliku-liku secara alami, memperlebar kembali badan sungai dan mengeruk kedalaman sungai agar kapasitas daya tampung sungai mendekati daya tampung semula dan ideal.

Normalisasi juga mencakup konsep naturalisasi untuk menghijaukan kembali bantaran sungai agar tanaman bisa menyerap air luapan dan mengurangi debit air banjir.

"Tetapi itu semua membutuhkan ruang atau lahan yang luas yang berarti akan banyak pemukiman yang harus direlokasi juga sebaga konsekuensinya," ujar Nirwono.

Oleh karena itu, Nirwono mengatakan relokasi permukiman warga di bantaran sungai adalah keharusan. Nirwono menjelaskan, keberanian dan ketegasan Anies sangat ditunggu untuk segera melanjutkan penataan sungai agar warga secara sukarela direlokasi.

Relokasi itu disebut Nirwono ke tempat terdekat yang aman dari bencana, ke permukiman hunian vertikal yang lebih layak huni dan terpadu.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menetapkan bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter, 15 meter, 20 meter, 30 meter.

"Garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang diterapkan sebagai batas perlindungan sungai," ujar Nirwono.

Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030, badan 13 sungai utama akan diperlebar dari saat ini 15-20 meter menjadi 35-50 meter dan bantaran sungai kiri-kanan 7,5-15 meter, juga pengerukan kedalaman sungai dari 2-3 meter ke 5-7 meter.

Sementara itu, untuk sungai pendukung, dari lebar 5-10 meter ditambah menjadi 10-15 meter dan bantaran sungai 5-7,5 meter.

Fakta-fakta tersebut disebut-sebut membuat Anies sulit melakukan naturalisasi sungai. Sebab ia sudah berjanji tak akan melakukan penggusuran terhadap warga yang tinggal di bantaran sungai.

"Penataan sungai 'terpaksa' terhenti sejak Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Salah satu gagasan yang dijanjikannya adalah membenahi sungai dengan konsep naturalisasi sungai dan berjanji tidak menggusur permukiman di bantaran sungai," kata Anies.

Pendapat Lain Mengenai Normalisasi dan Naturalisasi

Ini pendapat dari Direktur Eksekutif Walhi yang menurut saya lebih simpel dan mudah dipahami untuk masyarakt umum.

Dilansir dari Kumparan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati berpendapat, tidak ada yang lebih baik antara normalisasi atau pun naturalisasi. Menurut Nur, keduanya akan lebih baik jika dilakukan secara bersamaan.

Di era saat ini dimana cuaca ekstrem serta ancaman climate change, normalisasi dan naturalisasi yang berjalan bersamaan akan lebih efektif. Naturalisasi berguna di musim kemarau, karena masyarakat punya simpanan air yang terisi di waduk produk naturalisasi. Cadangan air untuk musim kemarau yang berkepanjangan pun aman. Sementara normalisasi, lebih cocok untuk musim hujan karena pada saat musim hujan dengan curah yang tinggi, membuat volume air meningkat. Naaah, ketika air tak bisa tertampung lagi, normalisasi membuat air langsung ke laut.

Di satu sisi, normalisasi memang membuat air lebih cepat mengalir ke laut. Namun biaya perawatannya sangat tinggi karena harus dilakukan pengerukan secara rutin. Namun jika hanya normalisasi yang dijalankan tanpa naturalisasi, manusia jadi pihak yang dirugikan. Sebab, air hujan menjadi air tawar yang terbuang sia-sia ke laut.

Bagaimana menurut Anda???

INFOGRAFIS: Beda Naturalisasi dan Normalisasi Sungai


Sumber: CNN Indonesia



Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Mengatasi Banjir, Ini Perbedaan Normalisasi dan Naturalisasi Sungai di Wilayah Jakarta"

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    www.arenakartu.cc
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete